Jogja Journal: Day One
Perjalanan dimulai dari 'rumah' saya tercinta, Jatinangor. Pagi - pagi sekali kami sudah harus standby di depan Gerbang BNI UNPAD Kampus Jatinangor. Alhamdulillah, meski kami harus sudah kumpul pukul 02.00 dini hari, sudah banyak yang kumpul, bahkan dari pukul 22.00 malam, maklum saja, jam - jam segini memang waktunya anak kos pada bangun.
Jalur yang kami tempuh selama sekitar 10 jam |
Hebatnya Antrop '11, galau itu pasti hilang. Terimakasih pada Genk Orange, Bung Andre, Bung PW, dan warga jok belakang lainnya yang sudah menghibur kami semua selama sepuluh jam perjalanan ini, meski pada pukul 4 - 9 pagi kegiatan sempat berhenti berhubung kami semua terlelap di jalan. Ketika matahari meninggi, mulailah suara genjrengan gitar dan nyanyian serta jokes yang dilemparkan oleh anak - anak Antrop '11, sebagai usaha dari menghilangkan rasa lelah dan mabuk perjalanan. Saya sendiri sebenarnya lebih banyak tidur karena galau masih menghinggapi hati (cie...). Setelah perjalan panjang, sekitar pkul 13.30 kami memasuki provinsi Yogyakarta, tepatnya di Kab. Kulon Progo, Jalan Lingkar Selatan Yogya. Perlu diingat, bahwa kami baru memasuki Provinsi bukan kotanya, jadi butuh sekitar satu jam lagi untuk menuju pusat kota Yogya, jadi memang perjalanan kami yang sudah sangat panjang itu belum juga menemui akhir. Dan kami terlalu lelah untuk peduli dimana sebenarnya kami.
Dan akhirnya, dengan diparkirnya bus kami di Alun - Alun Utara Kota Yogyakarta, secara resmi kami sampai di kota yang terkenal sebagai Kota Budaya ini! Para Mahasiswa dipersilahkan untuk beristirahat dan dibagikan makan siang, sementara untuk yang akan melaksanakan sholat dipersilahkan menuju ke Masjid Gedhe. Kami punya 'janji' dengan Keraton pada pukul 15.30.
Mendengarkan 'kuliah' |
Dosen kami, Bapak Ira Indrawardana (tengah) dan Bapak KRT H. Jatiningrat (kanan) |
Pertanyaan yang menurut saya paling menarik datang dari Bung Dani, yaitu mengenai gelar dan hubungannya dengan kekerabatan. Baru sekarang saya tahu, bahwa untuk menjadi pejabat Keraton atau Abdi Dalem, tidak harus seorang bangsawan. Ada beberapa penjelasan mengenai pemakaian gelar dalam Kesultanan Yogyakarta, yang sebenarnya tidak selalu sama setiap sultan. Bapak Jatiningrat sendiri mengubah namanya semenjak HB X berkuasa, dan dulu, penggunaan kata 'Gusti' hanya pada Pangeran yang 'Royal Born', namun, HB IX mengubah aturan hingga Pangeran yang berasal dari warga biasa pun bisa menggunakan nama Gusti. Menurut beliau, HB IX sangatlah demokratis hingga perkawinan eksogami pun diizinkan.Karena banyaknya perubahan - perubahan yang dilakukan di masanya, saya mendapat kesan bahwa HB IX memiliki nilai lebih di mata rakyatnya. Dari pertanyaan Bung Dani pula dijelaskan bahwa 'kehormatan' seseorang bukan dinilai dari jabatannya, namun usianya, bagaimanapun juga seorang muda harus menghormati yang lebih tua, meski itu seorang Pangeran dan Abdi Dalem, bila pangeran lebih muda, maka bagaimanapun Pangeran harus menghormati Sang Abdi Dalem.
Karena itu, menurut Bapak Jatiningrat, seorang Abdi Dalem akan bisa membedakan mana keturunan asli Keraton Yogya mana yang bukan. Hal ini pernah terjadi ketika seorang anak muda keturunan Keraton lain di Jawa menggunakan bahasa kasar ketika memanggil Abdi Dalemnya. Bisa dipastikan anak muda itu bukan dari Keraton Yogya dan tidak masalah kalau Abdi Dalem Keraton Yogya membalas dengan kasar karena bagi mereka, anak tersebut tidak menghormati orang yang lebih tua. Yang penting dalam tatakrama Keraton adalah 'meniron keniron' atau meniru dan ditiru. Setiap orang harus memberi contoh yang baik dan apa yang baik harus dicontoh, itulah mungkin terjemahan dari kata tersebut.
Kami mengagumi penuturan Bapak Jatiningrat mengenai visi dan misi HB IX, bahkan beliau pernah mengatakan 'tugas saya ke depannya sangat berat, karena saya harus bisa menyatukan yang Timur dan Barat tanpa Timur kehilangan kepribadiannya.' Ini benar - benar sebuah visi yang luar biasa dan mennunjukan bagaimana beliau memandang sangatjauh ke depan! Seolah - olah, beliau tahu meski Belanda sudah pergi, suatu saat Bangsa ini akan kebingungan mencari jati dirinya karena serangan penjajahan budaya oleh Barat.
Satu hal lagi yang saya pribadi kagumi dari penuturan Bapak Jatiningrat adalah mengenai semboyan negara kita. Sekarang ini, banyak terjadi perpecahan di tengah - tengah keberagaman yang sangat luar biasa di negeri ini karena adanya 'pemotongan' dari pengutipan Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Selama ini kita hanya mengenal Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu jua. Padahal, kalimat lengkapnya adalah Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana DharmaWangra yang berarti berbeda tapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua. Karena hilangnya kata Tan Hana Dharma Wangra ini maka banyak orang yang saling mengklaim dirinya benar tanpa ada kebenaran yang satu atau hakiki. Semboyan yang hilang ini juga hampir serupa dengan apa yang 'diramalkan' oleh HB IX, bahwa Bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya karena kurang contoh yang bisa diteladani.
Kalau Anda mengira keluarga Keraton dan para pegawainya adalah orang - orang kolot yang percaya mistis, maka Anda salah besar. Mungkin Anda memang akan menemukan semacam sesajian, namun bukan berarti mereka berserah sepenuhnya pada makhluk tak telihat. Memang Bapak Jatiningrat menegaskan bahwa manusia harus menjaga hubungan dengan segala makhluk, termasuk di antaranya yang gaib, gunung, air dan batu. Mendengar kata - kata yang terakhir ini, saya agak sedikit bingung, karena sejauh saya mempelajari biologi dan geografi, gunung air dan batu bukanlah makhluk, lain soal dengan makhluk gaib yang kepercayaannya diserahkan pada hati masing - masing. Bagi masyarakat Yogya, batu, air, gunung, dsb adalah makhluk karena mereka akan mengeluarkan peringatan ketika ada bahaya, seperti ketika Merapi meletus, tanda - tanda seperti air yang surut, suhu yang meninggi, dan binatang - binatang yang menuruni gunung adalah sinyal yang diberikan gunung Merapi sbeelum meletus, karena itu keberadaan penjaga sangatlah penting.
"Tapi bukan berarti kami menggantungkan seluruhnya pada tanda - tanda alam. Kami tetap menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membaca alam. Konyol kalau kami menunggu terlalu lama, nanti malah terlambat menyelamatkan diri. Kami tidak bisa hanya mengandalkan alam, teknologi dan ilmu pengetahuan sangat penting, karena itu para Abdi Dalem diharapkan bisa sekolah setinggi mungkin dan berpengetahuan luas."
Sultan yang saat ini sendiri lulus dari Fakultas Hukum UGM. Silahkan bagi yang pesimis dan menganggap 'pastilah, masa keluarga Keraton enggak bisa dimasukin ke UGM.' Menurut saya, tidak masalah kalau Keluarga Keraton masuk ke universitas besar dan terbaik di Indonesia, masa iya, mau memerintah warganya tapi penididikannnya abal - abal? Wah bahaya dong kalau pemerintah kita enggak punya pendidikan yang baik dan tinggi.
Tanya jawab ditutup pukul 18.00, setelah pertanyaan terakhir diajukan oleh Bung Andre mengenai siapakah calon HB XI dikarenakan semua anak Sultan adalah perempuan. Bapak Jatiningrat hanya tersenyum dan menjawab "Keraton sudah punya pengalaman itu ketika HB ke-5, kita cuma bisa menunggu keputusan. Tidak baik kalo saya meramal - ramal di sini."
Kunjungan hari pertama kami ditutup dengan penyerahan plakat kenang - kenangan oleh Bapak Rimbo Gunawan. Kami melanjutkan perjalanan menuju Jalan Rejowinangon untuk melakukan briefing tugas, makan malam dan beristirahat di Wisma Martha. Meski badan sudah hancur total dan hati masih galau (still), saya segera menuju kamar nomor 15 bersama Nona Nadia Putri Ardiyani, Nona Agge Ibrati Shabrina, Nona Inna Krisna Wardani dan Nona Saniya Maryama Ningtyas untuk segera mandi, berbenah, kemudian menuju aula.
Setelah makan dengan menu nasi, sayur, dan daging, kami mendengarkan briefing sekaligus pembagian tugas untuk masing - masing kuliah. Kali ini kami ke Yogya dengan membawa sekaligus tugas dari empat mata kuliah yang berbeda, yaitu Organisasi Sosial dan Kekerabatan Masyarakat, Biologi Manusia, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, dan Manusia dan Kekeberatan Asia Tenggara. Satu mata kuliah ditangani oleh satu kelompok dengan jumlah anggota sekitar 18 - 19 orang.Kebetulan saya mendapatkan tugas Biologi Manusia dengan deskripsi tugas mencari foto profil wajah depan dan samping dari penduduk Keraton dan melihat perbandingan antara mereka yang lahir sebagai keturunan Ningrat maupun bukan.
Untuk tugas kelompok lain:
- MKI: Mencari struktur pemerintahan di dalam keraton, relasi antar kerabat keraton dengan luar, dan kebudayaan keraton.
- MKAT: Melihat pakaian dan atribut Keraton dan mlihat konsep Dewa-Raja di dalamnya serta membandingkan dengan kebudayaan lain di Asia Tenggara.
- Orsos: Membuat pohon kekerabatan dan menjelaskan pemberian gelar
Dan akhirnya waktu yang paling kami tunggu - tunggu datang, waktu untuk istirahat! Berhubung memang semua sudah merasa sangat lelah, kami tidak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berbincang - bincang lagi. Segera lampu kami matikan meski waktu baru menunjukan pukul 22.30.
To be continued...
0 Response to "Jogja Journal: Day One"
Post a Comment