Jogja's Journal: Lessons From The Abdi Dalem

Selama mewawancarai Para Abdi Dalem, saya dan beberapa teman mendapatakan pengalaman yang luar biasa dan sempat tidak terpikirkan sebelumnya.










Dengan berbekal Alma Mater berwarna biru tua dengan lambang perisai segilima kuning, sebuah kamera SLR, dan buku catatan lusuh, saya merasa seperti seorang wartawan senior. Untunglah para Abdi Dalem, tour guide, dan para pekerja di sini sudah paham betul bagaimana kelakuan mahasiswa seperti kami, jadi mereka selalu dengan senang hati melayani kami dan menjawab pertanyaan - pertanyaan yang kami ajukan.

Tidak seperti teman - teman dari mata kuliah lain yang memang harus banyak bertanya, mata kuliah saya lebih mengutamakan kemampuan fotografi, mata yang tajam, dan kemampuan analisis. Meski saya sangat mencintai Mata Kuliah Biologi Manusia ini, saya rasa sayang kalau hanya memotret. Karenanya, sekaligus sebagai bentuk basa - basi, saya juga mengadakan wawancara kecil - kecilan. Bukan untuk tugas, hanya sekedar menambah pengetahuan saja.

Dari beliaulah kami belajar konsep Kinasih
Dari beberapa narasumber yang kami wawancara, kebanyakan memang sudah merupakan pensiunan, ada yang dari ketentaraan, ada juga dari kepegawaian lain. Beberapa memang masih muda, karena memang untuk menjadi seorang Abdi Dalem, harus berusia setidaknya 17 tahun dan telah memiliki Kartu Tanda Penduduk. Masa kerja seorang Abdi Dalem bisa 12 hari sekali, namun ketika piket waktunya adalah 24 jam, dari pukul 8 pagi hingga 8 keesokan harinya, dan pada pukul 9 barulah mereka berganti shift.

Beliau yang ada di foto adalah seorang lurah. Beliau yang mengatakan pada kami, bahwa seorang Abdi Dalem harus dengan ikhlas berbakti pada Sultan dan Keraton.

Awalnya, saya pernah ingin menanyakan, apakah seorang Abdi Dalem menerima gaji sebagai pegawai negeri? Pertanyaan ini muncul mengingat Sultan yang sekarang, Hamengku Buwono X juga adalah seorang Gubernur di D.I Yogyakarta. Namun saya menahan pertanyaan tersebut karena saya masih segan kalau harus membawa masalah uang, terlebih, saya sejujurnya tidak paham bagaimana 'uang' berperan dalam kehidupan masyarakat Keraton.

Sebelum sempat saya bertanya, Bapak Lurah ini sudah menjelaskan kalau Abdi Dalem dibagi menjadi dua, Keprajan atau Abdi Dalem yang merupakan pensiunan PNS dan Punakawan yang bukan PNS. Dari sana kurang lebih terjawablah pertanyaan saya. Namun yang membuat saya terkejut, adalah bapak ini hanya digaji 40.000 Rupiah sebulannya! Bahkan mereka yang berpangkat rendah menerima kurnag dari 20.000 ada yang hanya 12.000 dan salah seorang teman saya memecahkan 'rekor' dengan mengatakan ada yang digaji 60.000 sebulan.

Di hari dimana uang adalah segala - galanya dibayar 60.000? Saya yang anak kos saja bisa pingsan kalau begitu.

Tapi Bapak Lurah ini mengatakan hal yang sangat menyentuh saya dan Bung Abdi Marty Panggabean, rekan penelitian saya. Bahwa bagi mereka, uang tidak masalah, bahkan bila mereka terlalu mementingkan gaji, itu sama saja dengan buruh. Bagi mereka, yang lebih penting adalah konsep 'Kinasih'. Kinasih berarti penghargaan Sang Sultan dan kasih sayang beliau pada Abdinya. Hal itu jauh lebih terhormat daripada uang. Ini sangat luar biasa! Di masa ketika orang menjual kepercayaannya demi sedikit uang, masih ada yang mau menaruh kesetiaan pada penguasa dan kasih penguasanya lebih penting daripada uang.

KRT. Yudhohadiningrat




Pernyataan Bapak Lurah tadi juga dipertegas oleh Kangjeng Raden Tumenggung Yudhohadiningrat, yang juga sepupu dari Sultan Hamengku Buwono X Bahwa menjadi Abdi Dalem yang paling penting adalah pengabdiannya. Beliau datang dan mengabdi ke Keraton setelah pensiun dan sebelumnya sempat mengajar serta menetap di Cimahi. Beliaulah penggagas berdirinya sekolah bagi para Abdi Dalem dan menyusun kurikulum bagi para apprentice. Sebulan sekali, mereka akan kembali berkumpul untuk memperbaharui pengetahuan mereka tentang Keraton.

Saya kemudian mengajukan pertanyaan mengenai apakah dilakukan semacam rekruitmen? Beliau menjawab tidak perlu, pasti akan ada yang datang untuk mengabdi, bahkan yang masih muda. Beliau menegaskan, dengan begitu kita tahu bahwa orang tersebut siap mengabdi. "Dulu," kata beliau lagi, "ada seorang pejabat X yang sudah tinggi jabatannya di pemerintahan, beliau ingin mengabdi pada Keraton dengan syarat Keraton mengeluarkan surat permintaan mengabdi. Kami tidak mau, karena bagaimanapun untuk mengabdi harus beliau yang menyatakan kesiapan dan meminta untuk mengabdi. Mungkin karena gengsi ya sudah, beliau tidak mau."

Meski Bapak Yudhohadiningrat menegaskan sistem 'meniru dan ditiru' itu ada di kalangan Abdi Dalem, rasa hormat tetap ada ditunjukan apabila ada perbedaan pangkat. Ketika seorang wanita tua yang adalah tukang bebersih di Keraton masuk, ia berjalan jongkok menghampiri seorang Abdi Dalem yang juga pegawai yang mengurus absensi dan memberi salam. Beberapa pemuda yang sepertinya bukan dari Keraton pun tampak mencoba menjaga sopan santun dengan berjalan membungkuk dan mengucapkan salam hormat. 

Inilah, sekali lagi, keistimewaan yang kami dapat sebagai mahasiswa. berhubung mata kuliah MKI membutuhkan data mengenai sistem pemerintahan di Keraton, kelompok yang kebetulan 'terjebak' dengan tugas ini akhirnya diizinkan masuk menemui KRT Yudhohadiningrat meski seharusnya kami tidak boleh masuk. Dengan ditemani oleh Ibu Purboyo, menantu dari HB VIII, kami masuk dan mendengarkan pemaparan dari Bapak Yudhohadiningrat yang ramah dan membagikan kami kartu namanya. "Boleh kalau mau berkunjung. Itu ada nomor telepon dan handphone."

Sebenarnya saya agak merugi juga, karena merasa bukan tugas saya, maka penjelasan dari Bapak Yudhohadiningrat banyak yang lewat. Memang malam sebelumnya, oleh dosen pembimbing kelompok saya, Bapak Budi Rajab, yang tersulit itu adalah bertanya dan mendengarkan. Karena terbiasa menjadi pendengar yang buruk, saya kehilangan banyak jejak informasi dan untung saja masih tertolong oleh Nona Prima Zianasyifa yang mau membagi hasil rekamannya. 

Informasi lain yang saya dapatkan adalah bahwa sangat terlarang hukumnya bagi pegawai atau keturunan Keraton untuk menggunakan jabatan atau namanya untuk mencari uang. Bahkan bagi mereka yang berani mengaku sebagai turunan Keraton Yogya akan ditelusuri asal - usulnya. Seperti kasus Menteri Pertahanan Malaysia. Beliau berani datang dan mengatakan bahwa beliau masih ada keturunan Sultan, dan setelah diakui ternyata memang benar. Bagi siapapun yang mengaku sebagai keturunan Keraton Yogya dan bisa dibuktikan, maka boleh menerima sertifikat dan namanya ditaruh di dalam Pohon Kekerabatan Keraton. Bila tidak, maka wajib mengeluarkan pernyataann bahwa pengakuannya itu palsu.

Masih banyak lagi info yang sebenarnya saya dapatkan, namun karena kelemahan saya itu, maka banyak sekali info yang lewat.

Namun bagi saya dan kebanyakan teman, yang sangat mengagumkan dari semua yang kami pelajari hari ini adalah bagaimana masih ada yang bisa setia pada seorang pemimpin meski tidak dibayar dengan uang. Bung Abdi Marti berpendapat, andai ada lebih banyak kerajaan Kuno di Indonesia yang bertahan dan kesakralannya dijaga seperti Yogyakarta, pasti Indonesia maju. Tidak perlu banyak pemimpin daerah yang malah berpotensi korup, cukup beberapa Sultan/raja yang dihormati rakyatnya dan setiap keputusannya dianggap sabda pelita ratu. Bahkan di hari sebelumnya, kami mendengar dari Bapak Jatiningrat, bahwa Sultan adalah Khalifah, karenanya dalam gelar resminya ada kata khalifatullah.Karena itu, sabda Sultan dianggap mewakili Allah swt. Maka dari itu rakyatnya harus mematuhi perintah Sultan. 

Meski banyak yang akan berpikir hal seperti tidak demokratis, saya merasa selama ini bisa membawa negara kita ke arah yang lebih baik, mengapa juga harus mengagungkan demokrasi? Sekarang kepala daerah hasil demokrasi kita banyak yang korup, tidak lain karena merasa harus 'balas budi' pada tim suksesnya ketika pemilu. Masyarakat pun kehilangan rasa hormat pada para pemimpin karena dianggap tidak bisa menjadi panutan. Demonstrasi, meneriakan nama para pemimpin dengan kata - kata kotor, menginjak - injak fotonya, adalah bukti hilangnya tokoh yang dihormati. 

Kemajuan Yogya saya rasa salah satunya dikarenakan rasa hormat masyarakat pada pemimpinnya. Bahkan masih banyak warga yang mau mengabdikan diri meski tidak dibayar dengan uang yang besar. kasih dan penghargaan Sultan, itulah yang paling penting bagi mereka.

Ketika kembali ke tugas sebenarnya, yaitu tugas Bioman, karena beberapa alasana, saya agak sedikit kesal dengan sikap demokratis dan modern HB IX. Maklum, beliau mengizinkan pernikahan eksogami sehingga perkawinan sesama anggota kerajaan dan bangsawan menjadi langka. Dan tentu saja ini menyulitkan saya ketika harus membandingkan wajah orang yang berdarah biru dan bukan. Apabila mereka masih mengutamakan perkawinan antar bangsawan, pasti ada ciri fisik yang khas, namun karena perkawinan sudah sangat luas dan bercampur aduk, tidak ada lagi ciri khas di wajah para keturunan ningrat. Yah, terpaksa kami menulis laporan apa adanya karena memang perbedaan ciri fisik antara kedua golongan tersebut tidak kentara.








  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

3 Response to "Jogja's Journal: Lessons From The Abdi Dalem"

  1. Unknown says:
    9 September 2017 at 11:00

    apakah abdi dalem pernah bertanya di mana keajaan yg hilang ?
    padjajaran ?
    n saya mau bertanya , apakah bapa kenal dengan raden bei resodiwiryo ?

  2. Unknown says:
    22 June 2018 at 09:07

    Saya sangat berterimakasi ada anak muda yg sangat peduli dgn riwayat sejarah orang Jawa

  3. Unknown says:
    25 December 2018 at 15:48

    Ciri fisik bisa menipu. Kan ada test dna. Lagipula, apa itu benar2 perlu? Perbedaan manusia di mata Tuhan adalah dari ketakwaannya.

Post a Comment