Jogja Journal: Day Two
Setelah menikmati tidur yang sebenarnya kurang panjang, pukul 06.00 pagi kami sudah harus bersiap - siap, terutama karena sebagai seksi acara, bangun paling pagi itu adalah wajib hukumnya. Dengan mata yang belum juga ikhlas disuruh melek, saya dan teman - teman sekamar bergantian ke kamar mandi dan menjadi kamar pertama yang seluruh warganya siap untuk menghadapi praktikum pagi ini, Selasa 23 Mei 2012.
Menyantap nasi uduk dengan dadar telur, sambal kacang dan segelas teh manis panas langsung membuat saya terbangun. Handphone harus selalu standby karena bisa sewaktu - waktu ada perintah dari dosen ataupun dari ketua tim. Setelah menyelesaikan sarapan, berleha - leha, dan membagikan uang makan siang untuk anggota tim, ponsel saya berbunyi dan dosen memberi perintah untuk segera masuk ke dalam bus dan siap berangkat ke Keraton karena kami punya janji pukul 10.00.
Kembali lagi memarkirkan bus di Alun - Alun Utara, kami berjalan menuju Keraton dan membayar tiket masuk. Jas alma mater kami tercinta yang berwarna biru tua dengan lambang perisai segi lima kuning membuat kami menarik perhatian pengunjung lain. Sempat beberapa pengunjung menanyakan kami dari jurusan apa karena memang jas biru ini sudah cukup dikenal meski banyak yang sama.
Kami disambut oleh seorang tour guide yang juga merupakan seorang Abdi Dalem pensiunan Angkatan Darat. Beliau terlebih dahulu memberikan penjelasan pada kami di dalam Bangsal Pagelaran. Beliau terlebih dahulu menceritakan sejarah hidupnya yang telah mengabdi pada Keraton di tahun 1977 sampai 1995 tanpa pernah sekalipun naik pangkatnya karena beberapa alasan. Sebelum diberi penjelasan mengenai Bangsal Pagelaran ini, kami dibertahu beda bangsal dan balai. Bangsal merupakan bangunan terbuka tanpa dinding. Balai adalah bangunan yang berdinding.
Property of: Miss Saniya Maryama Ningtyas |
Bangsal ini juga digunakan untuk Upacara Garebek atau Gunungan yang dilaksanakan setahun tiga kali. Bertepatan dengan Idul Fitri dan Idul Adha serta Maulid Nabi yang paling meriah karena didahului Pasar Malam selama 40 hari dan dibunyikan gamelan sekaten (berasal dari kata Syahadat tain). Tradisi ini diawali di zaman Sunan Kalijaga sebagai sarana pengumpul massa untuk memperingati acara ini. Gamelan Sekaten hanya dibunyikan setahun sekali. Sekarang, hiburan tidak hanya berupa gamelan, tapi juga hiburan - hiburan modern. Ketika gamelan dibunyikan, banyak yang menjual sirih karena menurut kepercayaan setempat, memakan sirih setiap kali bunyi gong memiliki makna, misalnya gong pertama memberikan awet muda. Meski seorang Abdi Dalem, guide kami mencoba memberikan penjelasan ilmiah mengenai kepercayaan ini, sirih membuat awet muda karena menguatkan gigi, dan dari apa yang saya tahu sirih juga membuat bibir merah merona. Beliau menyarankan agar kami jangan percaya hal - hal seperti itu, pernyataan ini membuktikan apa kata Bapak Djatiningrum, seorang Abdi Dalem harus berpikir rasional, bukan mistik.
Bangsal kedua adalah bangsal pamandengan. Pamandengan berarti pandangan, Sultan menggunakan bangsal ini untuk melihat adu banteng dan latihan perang - perangan di Alun - Alun Utara. Adu banteng hanya dilakukan hingga Sultan ke VIII.
Bangsal Pengapit adalah bangsal yang digunakan para abdi menunggu untuk bertemu Sultan, baik untuk menyampaikan pesan atau menerima perintah.Sekarang digunakan untuk peragaan busana.
Di bagian yang lebih belakang,dikelilingi oleh rantai adalah bangsal Pengrawit yang digunakan untuk pelantikan patih. Patih tidak ada lagi hingga Sultan ke VIII dan istananya menjadi kantor gubernur yang masih disebut kepatihan sekarang.
Di bagian belakang bangsal, terdapat sebuah relief yang menunjukan bagaimana proses hingga ditandatangani Perjanjian Giyanti. Selebihnya, saya memutuskan untuk penelitian sendiri dengan kelompok Bioman. Karena memang tugas kami tidak butuh terlalu banyak mendengar, tapi lebih pada praktek fotografi. Setelah basa - basi dengan beberapa Abdi Dalem, kami meminta izin untuk mengambil foto close up wajah mereka dan foto tampak samping. Sempat juga kami mengambil gambar kami di sebuah bangunan tempat Abdi Dalem berjaga. Bangunan yang rendah ini dimaksudkan agar kita mau menghormat dan membungkukan badan, kalau berjalan tidak 'songong', menjaga pandangan dengan menunduk. Fungsi atap dan bangunan yang rendah adalah sebagai 'teguran' kalau kita 'nenggak' otomatis kita akan 'kejedot'. Luar biasa sekali! Seharusnya memang teguran dilakukan seperti ini, karena teguran dengan kata - kata biasanya lebih sering 'mental'.
Meski tugas kami sebenarnya hanya memotret, tidak ada salahnya kami berbasa - basi sedikit karena memang salah satu keistimewaan perjalanan saya ke Yogya kali ini adalah adanya hak untuk mewawancarai dan melihat apa yang biasanya tidak terbuka untuk umum. Dengan modal alma mater, kamera, dan buku catatan, rasanya seperti kami bebas menelusuri seluruh bagian Keraton, bahkan di bagian yang seharusnya kami membayar karcis masuk.
Salah satu pertanyaan yang paling saya sering tanyakan adalah masalah kekerabatan para Abdi Dalem yang menjadi koresponden saya dengan Keluarga Keraton. Kebanyakan dari mereka mengaku bukan keluarga Keraton, padahal, ketika ditelusuri masih ada sedikit darah biru di dalam diri mereka, namun bagi mereka itu penting.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari penuturan para Abdi Dalem ini....
To Be Continued....
0 Response to "Jogja Journal: Day Two"
Post a Comment